- Jawaban.com - View: 595 times "Asal kerja sering kali menjadi sebuah alasan tepat untuk mengakhiri keadaan menganggur. Tanpa disadari hal tersebut telah mempengaruhi etos kerja subjek menjadi kerja asal-asalan. Hasil kerja yang hanya menjadi cemoohan karena tidak adanya totalitas dalam berkarya."- K-ray Cahyadi Sering kali terdengar seperti ini: Seseorang bekerja di kota besar lalu pulang ke kampung, mendapati sanak saudara atau temannya menganggur di kampung. Lalu terjadi sebuah percakapan seperti ini: Pemudik : "Mendingan kamu ikut saya kerja ke Jakarta daripada menganggur seperti ini."Penganggur : "Kerja apa di sana?"Pemudik : "Ya sudah asal kerja saja, toh daripada menganggur."Dari input tenaga kerja seperti itu, terdapat dua macam hasil output yang mudah sekali dijumpai di kota-kota besar semacam Jakarta. Jenis pertama adalah mereka yang berhasil beradaptasi, membangun kemandirian, berjuang dengan gigih tanpa kenal lelah, akhirnya berhasil memetik kerja keras mereka. Sedangkan output kedua adalah para pelengkap derita, yaitu mereka yang tidak mampu beradaptasi, gagal, akhirnya mimpi mereka membentur karang realita. Para pelengkap penderita ini merasa malu untuk pulang kampung karena mereka menganggap diri mereka sebagai pecundang kehidupan. Tidak sedikit dari mereka pada akhirnya menjadi pelaku kriminal bermacam-macam tindak kejahatan. Berdasar statistik, bila kita membandingkan jumlah populasi golongan yang berhasil dengan para pelengkap derita ini jumlahnya sangat kontras dan signifikan. Para pelengkap derita lebih banyak dibandingkan mereka yang berhasil bertahan atau sukses. Sempit atau tidak adanya lapangan pekerjaan selalu menjadi kambing hitam akan keadaan seperti ini, namun benarkah demikian? Benarkah sempitnya lapangan pekerjaan selalu menjadi satu-satunya faktor utama, dan apakah pemerintah selalu menjadi pihak yang bertanggungjawab dalam keadaan jumlah pengangguran yang kronis di kota besar atau bahkan dalam tingkat yang lebih tinggi, skala nasional? Jauh sebelum proses adaptasi dimulai sebenarnya dorongan mencari kerja saja sudah perlu dipertanyakan, "asal kerja" merupakan sebuah dorongan yang sangat bertanggungjawab pada fenomena ini. Ketika mendengar "asal kerja" secara tidak sadar penganggur tersebut sudah menganggap bahwa dirinya tidak memiliki pilihan, tentunya "tawar-menawar posisi" sudah tereliminasi secara otomatis. Padahal seharusnya tidak ada pilihan justru bisa membuat seseorang fokus dan menghasilkan hal yang besar, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Seperti kasus-kasus klasik, orang-orang yang tidak memiliki pilihan akan melakukan segala sesuatu yang mereka kerjakan dengan terpaksa. Tidak ada lagi kenikmatan dalam segala hal yang mereka kerjakan. Bila bekerja tanpa cinta, maka hasilnya tidak akan pernah maksimal. Jangan pernah berharap hasil kerja dari orang yang "asal kerja" menjadi maksimal sesuai dengan keinginan Anda, karena secara mindset pun mereka sudah berbeda dari Anda. Bekerja haruslah dengan cinta, dengan penuh semangat, karena bekerja adalah salah satu aktualisasi diri yang esensial. Bekerja mengaktualisasikan diri bukanlah monopoli dari mereka, orang-orang di puncak piramida Maslow yang sudah terpenuhi kebutuhan material, keamanan, pengakuannya. Kebutuhan aktualisasi diri adalah hak semua orang. Banyak orang salah kaprah menyatakan bahwa aktualisasi diri hanya bisa dicapai saat semua kebutuhan lain yang lebih mendasar (materi, keamanan, keamanan) sudah tercukupi. Sebenarnya saat Anda mampu mengaktualisasikan diri Anda dalam pekerjaan Anda, secara otomatis Anda pada akhirnya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lain. Bayangkanlah jika Anda adalah Mozart, ia dikenal hidup dalam kemiskinan. Cobalah tanyakan, apakah kemiskinan menghambatnya dalam berkarya? Sebenarnya masih banyak sekali orang-orang yang dalam keterbatasan dana mampu menghasilkan karya-karya fenomenal. Mereka hanya memikirkan satu hal saja, bagaimana caranya mereka mengaktualisasikan diri mereka. Mereka mengeluarkan totalitas mereka dalam berkarya, terlepas begitu banyak keterbatasan dana, fasilitas, dan waktu. Mereka tidak bekerja asal-asalan, tetap memikirkan kepuasan hati mereka. Oke, sepanjang itu, tapi apa korelasinya dalam kehidupan rohani? Bila Anda benar-benar mencermati, saat ini kehidupan gereja banyak mengalami kesamaan hal dengan dunia kerja. Mari cermati dialog ini: Pemuda Gereja : Daripada nganggur di hari Minggu, mendingan kamu ikut saya saja ke gereja.Penganggur : Mau ngapain ke gereja?Pemuda Gereja : Yaaaa, yang penting asal gereja aja.Maka inilah yang terjadi: orang-orang asalan tadi akhirnya tidak maksimal beribadah, mereka menganggap ibadah adalah sebuah kegiatan di hari minggu. Sementara hari biasa bukanlah ibadah. "Karena itu demi kemuliaan Allah aku menasehatkan kamu supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah. Itu adalah ibadahmu yang sejati." Apakah Tuhan menerima ibadah yang asal-asalan? Selain itu, banyak gereja saat ini "asal". Saya mencermati beberapa gereja mengalami kemunduran-kemunduran yang begitu nyata, kehilangan visi awal mereka. Mereka saat ini cenderung condong kepada melakukan rutinitas belaka. Pelayanan yang asal-asalan, pengajaran yang asal-asalan, ibadah yang asal-asalan, hanya untuk memuaskan ego, menenangkan diri dengan membayar kewajiban di hari Minggu setelah banyak berdosa seminggu penuh, bahkan ada pendeta asal-asalan (pasti biasanya awalnya: asal jadi pendeta daripada menganggur). Hanya menyampaikan sesuatu yang enak didengar telinga mereka (cari aman). Tidak lagi ada aktualisasi iman, ibadah hanya sekedar ada, tidak lebih tidak kurang. Visipun sudah tidak lagi jelas mau kemana. Ingatlah Roh Tuhan undur dari kehidupan Imam Eli saat ia kehilangan penglihatannya (hilang visi), tidak ada kemajuan berarti (padahal katanya Tuhan adalah sumber segala pengetahuan dan kemajuan). Gereja hanya menjadi tempat komunikasi searah, tanpa bisa menerima feedback dari jemaatnya, pengajaran tanpa arah dan tujuan yang jelas. Akhirnya waktu ibadah di gereja hanya terasa sebagai sebuah proses membuang waktu yang sia-sia akibat pengajaran yang tak berdasar dan relevan dalam kehidupan sehari-hari (terlalu mengawang-awang). Minimnya dana dan fasilitas akhirnya menjadi kambing hitam, untuk apa ibadah ‘ngotot'? Toh fasilitas dan perpuluhan yang didapat tidak memadai, padahal seharusnya kita total dalam beribadah tanpa peduli kekurangan kita. Ketika kritik datang, para pengurus membentengi diri mereka dengan "firman" taat pada otoritas. Ketaatan didendangkan bagai sebuah komoditas murahan, ketaatan pada apakah? Taat pada manusia? Taat kepada Tuhan? Atau taat pada manusia yang mengaku-aku dirinya adalah wakil Tuhan di dunia? Akhirnya seperti kasus dunia kerja di atas, jemaat ‘terpaksa' beribadah menurut cara yang didendangkan sesuai keinginan ‘otoritas', karena tereliminasinya pilihan. Bukalah mata, bukalah telinga, waspadalah terhadap berbagai pengajaran. Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik! Mengapa harus diuji? Karena kita tidak dapat menarik makna dari sebuah tanda. Makna bergantung pada konteks. Segala sesuatu yang tidak empiris* adalah sampah, dan untuk menentukan keempirisan sesuatu diperlukan pengujian. Dari apakah kita mengujinya? Buahnya! Kalau buahnya asal-asalan, dipastikan semuanya asal-asalan. Mudah bukan? Demikianlah sedikit ulasan mengenai "asal kerja" dan korelasinya dalam dunia pergerejaan, ubahlah paradigma Anda. Aktualisasikan diri Anda, iman Anda, totalitas dalam bekerja. Perlu diingat bahwa kerja adalah sebagian dari perwujudan iman Anda. Hidup adalah ibadah, dinilai dari totalitas Anda dalam menjalani semua aspek dalam kehidupan Anda. Asal hidup tentunya menghasilkan hidup yang asal-asalan. Resapi, renungkan dan praktekkan. Karena perubahan memerlukan tindakan. Ciao. *empiris berarti suatu keadaan yang bergantung pada bukti atau konsekuensi yang teramati oleh indera. Sumber: Cahyadi Tanujaya
Segala sesuatu yang berkaitan dengan isi dan kebenaran dari kisah di atas diluar tanggung jawab Jawaban.com |