Lelaki terbebani ketika merasa dirinya tak bisa memenuhi kriteria lelaki sebagai pencari nafkah.
Jumat, 19/3/2010
Sejak kecil anak lelaki dibesarkan dengan konsep citra bahwa anak lelaki tidak boleh menangis, merengek, atau mengeluh. Lelaki dibentuk sebagai sosok kuat, termasuk dari ciri fisik. Citra kelelakian digambarkan dengan postur yang macho, perut yang six pack, atau kejantanan yang dilambangkan dengan kekuatan fisik. Lelaki menjadi pencari nafkah dalam keluarga, dan banyak lagi nilai yang dianut lelaki sejak kecil dan terus dikonstruksi secara sosial budaya di masyarakat.
"Studi di LSM Rifka Anisa Yogyakarta menyebutkan bahwa lelaki berada di antara situasi ideal dan aktual, dan menjadi tidak bahagia. Lelaki ingin ideal, namun realitasnya pekerjaan masih serabutan. Lelaki terbebani ketika realitasnya sang istri bekerja, dan merasa dirinya tak bisa memenuhi kriteria ideal lelaki sebagai pencari nafkah. Akhirnya lelaki akan menekan istri," papar Nur Hasyim, kordinator Gerakan Laki-laki Baru dalam seminar beberapa waktu lalu.
Realitasnya, tidak semua lelaki sanggup memenuhi kriteria dari masyarakat. Terutama privelese yang menyebutkan lelaki sebagai nomor satu. Fakta yang terjadi, kriteria ini membebani lelaki, dan menimbulkan kekerasan karena lelaki merasa gagal memenuhi kriteria sosial tersebut.
Sebagai contoh, ketika lelaki memegang nilai dirinya sebagai orang nomor satu, sebagai pencari nafkah, namun kemudian ia di-PHK, ia menjadi marah karena gagal memenuhi kriteria sosial. Menjadi masalah ketika lelaki yang merasa gagal ini menggunakan cara fisik dan mengubahnya sebagai pelaku KDRT, dengan istri sebagai sasaran.
Nur Hasyim mengatakan, konsep kelelakian seperti ini harusnya dikritisi oleh lelaki itu sendiri. Saatnya menjadi lelaki sebagai dirinya sendiri, bukan lelaki dengan citra ideal yang hanya membuatnya tak bahagia atas diri dan relasinya dengan perempuan. Terutama istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thank you have visited