Selasa, 04 September 2012

Kebijakan Pemerintah Dalam Masalah Anak-Anak Di Indonesia

Indonesia merupakan penandatanganan Konvensi Hak Anak (KHA) dan World Summit for Children (WSC). Ratifikasi mencakup komitmen negara peserta dalam mewujudkan hak semua anak untuk dilindungi dari eksploitasi dan perlakuan salah serta menangani akar masalah yang mengarah pada situasi tersebut.
Diilhami oleh Tahun Internasional Anak 1979, maka pemerintah menetapkan UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang mengatur permasalahan tentang anak di Indonesia. Akan tetapi, sampai saat ini UU ini belum mempunyai PP (Peraturan Pemerintah) sehingga belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Disamping usia anak yang dimaksud di dalam UU adalah 21 tahun, ini juga berbeda dengan apa yang tercantum dalam KHA. Definisi anak sendiri memang masih menimbulkan banyak masalah di Indonesia. UU perkawinan No. 1 tahun 1974 menentukan usia kawin untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, UU tenaga kerja menentukan 14 tahun.
UU tentang Kesejahteraan Anak sudah lama berlaku tetapi dinamika permasalahan sebetulnya menuntut berbagai garapan serius. Pada masa lalu kesejahteraan anak hanyalah kegiatan represif seperti anak cacat, yatim piatu, dan sebagainya. Namun sebenarnya populasi seluruh anak menuntut perhatian juga agar anak Indonesia menjadi manusia yang mandiri, agar tidak cacat dalam bentuk lain. Sehingga kebijakan pemerintah dengan Keppres No. 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional yang ditetapkan tiap tanggal 23 Juli, sebetulnya merupakan suatu momentum. Akan tetapi pada akhirnya, kegiatan ini hanya menjelma menjadi sebuah seremonial belaka, karena ketidaksiapan pemerintah dan aparatnya dalam menyikapi masalah anak di Indonesia
Adanya Pokja Pembinaan Anak yang diprakarsai oleh Kantor Menko Kesra sejak tahun 1986 sebenarnya cukup membuat lega, karena hampir semua departemen terkait, LSM terlibat di dalamnya. Akan tetapi harapan tinggal harapan. Adanya Inpres No. 3 tahun 1997 tentang Pengembangan Kualitas Anak juga merupakan upaya yang bagus, walaupun kurang berjalan semestinya.
Upaya yang dikembangkan oleh FK-PPAI (Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia) dalam memprakarsai Dasa Warsa Anak Indonesia terbentuknya Pola Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia untuk 25 tahun, panduan Idola Citra Anak Indonesia yang salah satunya berisi Asta Citra Anak Indonesia yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah dalam GBHN 1993. Sehingga sebetulnya secara serius pemerintah baru tahun 1993 dalam menangani masalah anak. Tindak lanjut kebijakan tersebut, maka pemerintah membuat Program Pembinaan Anak dan Remaja di pedesaan dengan dana sebesar Rp. 500.000 yang diolah bersama antara Bappenas.
FK-PPAI dan Kantor Menko Kesra, diharapkan dapat mendorong terwujudnya gerakan terpadu tentang pembinaan anak sampai ke desa-desa. Namun karena ketidakpastian aparat pemerintah di desa-desa dalam membuat programnya, sehingga kurang dapat mengena pada sasarannya. Upaya UNICEF lewat program KHPPIA (Kelangsungan Hidup Pembinaan dan Pengembangan Ibu dan Anak) bekerjasama dengan Ditjen Bangda Depdagri di beberapa propinsi cukup memberi nuansa, walaupun pada akhirnya aparat pemerintah lagi-lagi hanya menganggapnya sebagai suatu proyek belaka.
Di bidang hukum, persetujuan terhadap UU Pengadilan Anak No. 3 tahun 1996 adalah suatu upaya lain dalam menyikapi masalah anak dalam konflik dengan hukum. Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak yang disponsori oleh Depsos dan UNICEF merupakan nuansa baru dalam pelaksanaannya. Namun leading sektor pemerintah yang kurang tepat, sehingga dalam pelaksanaannya di daerah kurang mendapat dukungan yang semestinya. Akan tetapi adanya lembaga ini tetap bisa dianggap sebagai nilai tambah karena ada wadah yang mengurusi masalah anak dalam kondisi sulit termasuk anak jalanan, pekerja anak, dsb.
Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 pada bulan Desember 1997 adalah suatu langkah maju bagi keseriusan pemerintah akan tetapi menjadi masalah di lain pihak, karena akan meningkatkan jumlah pekerja anak di Indonesia. Usia maksimum anak bekerja yang menurut konvensi tersebut adalah 15 tahun sedangkan pemerintah menetapkan 14 tahun sesuai dengan Permenaker No. 1 tahun 1987 maupun UU Tenaga Kerja No. 25/1997. Ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah pekerja anak terlihat dari jumlah pengawas tenaga kerja yang berjumlah 1.128 pengawas dan 760 pengawas lapangan yang harus memantau 162.000 perusahaan. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa kadang terjadi kerjasama diantara mereka dalam mempekerjakan pekerja anak. Sehingga sanksi hukum dan denda Rp. 100 juta kadang dianggap angin lalu oleh pengusaha.
Di bidang pendidikan adanya UU Pendidikan No. 2 tahun 1989 yang diilhami Konsep Education for All yang dicetuskan oleh UNESCO yang kemudian ditindaklanjuti dengan program WAJAR 9 tahun (Wajib Belajar 9 tahun) guna mengurangi angka buta huruf, aksara dan angka. Akan tetapi UU ini belum mengatur masalah anak yang berada dalam kondisi sulit, hal ini hanya diatur dalam PP No. 2 tahun 1998 tentang UKA (Usaha Kesejahteraan Anak) bagi anak yang mempunyai masalah. Namun hal ini tidak mencakup anak jalanan, pekerja anak dsb.
Penanganan masalah anak jalanan secara serius baru dimulai pemerintah sejak tahun 1996 dengan adanya program UNDP - Depsos dan ADB. Depsos dengan membuat pilot proyek Rumah Singgah di 12 propinsi. Permasalahan tetap timbul karena ternyata aparat Depsos di daerah masih kurang memahami program ini, disamping tidak dapat dipungkiri ada beberapa lembaga yang memang kurang mampu menangani masalah tersebut. Pada akhirnya program inipun terasa hanya sebagai suatu proyek belaka.
Pada akhirnya semua itu memang kembali pada kita (baik pemerintah, masyarakat, LSM, orangtua, anak, swasta, media massa) untuk membina SDM sejak usia dini agar terjadi suatu lost generation. Kalaulah di negara tetangga kita Malaysia ada Majelis Kebijakan Kanak-Kanak yang mengurusi masalah anak, mengapa Indonesia tidak membuat Badan Khusus tentang anak ini sehingga kebijaksanaan penanganan dan koordinasi diantara pemerintah sendiri dapat berjalan baik, disamping tentunya pelibatan LSM dalam penanganan masalah anak juga lebih serius, tidak hanya sekedar melegitimasi suatu proyek pemerintah saja.
Perjalanan Panjang Konvensi Hak Anak Di Indonesia
Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan bagian integral dari instrumen international tentang hak asasi manusia. Perumusan naskah KHA dimulai sejak tahun 1979 dan dalam waktu 10 tahun kemudian tepatnya, pada tanggal 20 November 1989, naskah akhir konvensi dapat diterima dan disetujui dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB.
Sesuai ketentuan pasal 49 ayat 1 KHA diberlakukan sebagai hukum HAM internasional pada 2 September 1990. Indonesia meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden No. 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 sehingga tahun ini kita sudah lebih dari 10 tahun meratifikasi KHA. Sampai sejauhmana implementasinya ? Berikut adalah tulisan Bambang Budi Setiawan - Humas Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang telah menemui beberapa nara sumber.
Implikasi dari sebuah ratifikasi adalah kewajiban untuk melaksanakan seluruh kesepakatan yang tercantum didalamnya. Dengan meratifikasi KHA Indonesia secara teknis telah dengan sukarela mengikatkan diri pada ketentuan yang terkandung dalam KHA. Hampir semua negara di dunia telah meratifikasi KHA, sampai tahun 1999 tinggal dua negara di dunia yaitu Somalia dan Amerika Serikat.
Sesuai dengan pasal 49 ayat 2 KHA dinyatakan berlaku di Indonesia sejak tanggal 5 Oktober 1990. Sesuai dengan ketentuan di dalam konvensi negara peserta wajib mengimplementasikan berbagai ketentuan yang terkandung di dalam konvensi.
Akan tetapi meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA, fakta menunjukkan bahwa pelanggaran demi pelanggaran terhadap anak di Indonesia terus terjadi, bahkan telah mencapai pada bentuk-bentuk pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi oleh akal sehat manusia (the most intolerable forms). Lebih-lebih pada masa sulit sekarang ini, dimana bangsa Indonesia sedang dilanda krisis dalam berbagai bidang permasalahan anak kian meningkat. Selain itu, perkembangan masyarakat yang makin kompleks telah memberikan pengaruh buruk terhadap pengasuhan dan perawatan anak dalam perwujudan hak anak, eksploitasi anak secara ekonomi dan seksual komersial, kekerasan dan penyalahgunaan seksual, penelataran dan bentuk pelanggaran hak anak lainnya baik kuantitas maupun kualitasnya semakin meningkat. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan akan tetapi pemenuhan terhadap hak anak-anak di Indonesia masih belum terpenuhi secara optimal.
Apa Yang Telah Dicapai ?
"Pada era reformasi sekarang ini tentunya kita tidak bisa melapor yang baik-baik saja kepada PBB, kita harus berangkat dari realitas. Saat ini ada 7 juta usia pendidikan dasar yang terancam putus sekolah. Ada sekian juta yang mengalami gizi buruk. Kenyataan ini ditambah dengan kerusuhan yang berakibat paling buruk bukan pada laki-laki justru pada anak-anak dan perempuan. Kita juga telah mencoba menerapkan KHA akan tetapi tidak semuanya berhasil. Itu adalah kenyataan yang dapat kita laporkan kepada masyarakat", ujar Prof.Dr.Yaumil Agoes Achir salah satu pemerhati anak.
Diakui oleh Yaumil,"Karena kondisi ekonomi dan sosial yang memburuk dan kemudian banyak anak-anak yang secara ekonomi terlibat di luar rumah entah sebagai pelacur anak, pekerja anak, ataupun anak jalanan, itu bukanlah salah mereka. Itu salah kita kenapa pemerintah tidak dapat memberikan kesejahteraan untuk mereka".
Menanggapi hal tersebut di atas Prof.Dr.Lily I Rilantono mantan anggota Komisi Hak Anak PBB yang juga Ketua Umum YKAI Pusat mengatakan, "Dalam memberikan JPS dan program lain, kita harus menyadari masalah yang sangat mendasar yaitu berubahnya nilai-nilai. Hal ini kalau tidak ditangani secara simultan akan lebih terpuruk. Disamping itu penanganan seharusnya juga lebih mendasar dan bersifat holistik. Ambil misalnya anak jermal, di Medan yang kalau diteliti mereka katanya sudah diintervensi program di darat oleh pemerintah daerah dan LSM. Akan tetapi mereka ternyata kembali ke jermal. Dan itu memang memerlukan pengembangan holistik dimana dia berasal. Mereka bukan berasal dari pantai akan tetapi dari daerah yang tidak ada pembangunan sosial.
Jadi pendekatan kita memang perlu secara cepat akan tetapi jangan lupa dengan holistik approach. Jadi kalau masyarakat desa itu tidak dibangun lebih dulu, begitu pula dengan nilai-nilainya, apakah nilai yang sudah merosot ataukah nilai yang harus dibangun sehingga ini merupakan solusi yang holistik untuk masa depan. Dan itu harus bareng-bareng, karena itu masyarakat harus berjuang asal dapat dukungan dari pemerintah.
Isu Anak Tak Menarik
Disamping implementasi yang masih amat kurang, ternyata kecenderungan yang tampak, masalah anak saat ini masih dilihat bukan karena masalah yang krusial signifikan, melainkan hanya karena "sedang musim dibicarakan". Hal ini dibenarkan Prof.Dr.Emil Salim, "Anak kadang memang tak masuk agenda politik dan partai politik serta tak pernah dibicarakan di DPR, karena tak bisa dijadikan tenaga pendukung politik.
Isu anak dinilai tak menarik (non-marketable) dan sering tidak diacuhkan karena dianggap "biayanya melebihi manfaat kegunaannya".
Adanya Komisi Nasional Perlindungan Anak sebetulnya diharapkan banyak pihak untuk membantu menjembatani loby kepada pihak lain akan pentingnya masalah anak. Akan tetapi menurut Maria Hartiningsih jurnalis harian Kompas yang sudah lebih dari 10 tahun malang melintang mengungkap masalah anak di Indonesia, "Sekarang kita sudah punya Komisi Nasional Perlindungan Anak, tapi efektifitas dan kerjanya saya ragukan. Apa yang sudah dilakukan mereka nggak jelas ? Saya masih melihat komisi ini masih mencari bentuk dan belum tahu apa yang seharusnya dikerjakan".
Pengakuan serupa dilontarkan oleh DR.Irwanto, mantan Ketua I Komisi Nasional Perlindungan. "Pada era reformasi sekarang ini tentunya kita tidak bisa melapor yang baik-baik saja kepada PBB, kita harus berangkat dari realitas. Saat ini ada 7 juta usia pendidikan dasar yang terancam putus sekolah. Ada sekian juta yang mengalami gizi buruk. Kenyataan ini ditambah dengan kerusuhan yang berakibat paling buruk bukan pada laki-laki justru pada anak-anak dan perempuan. Kita juga telah mencoba menerapkan KHA akan tetapi tidak semuanya berhasil. Itu adalah kenyataan yang dapat kita laporkan kepada masyarakat", ujar Prof.Dr.Yaumil Agoes Achir, salah satu pemerhati anak.
Ditambahkannya guna mendapatkan hak dalam mengenyam pendidikan maka pemerintah mencoba menyalurkannya dengan Jaring Pengaman Sosial yang pada waktu krisis ekonomi dan sosial itu menurun angka partisipasi kasarnya dimana sebelum krisis.
Bagaimana KHA di Indonesia ?
Secara hukum dan perundangan, sebetulnya telah banyak yang dilakukan oleh negara pihak (state party) yaitu pemerintah Republik Indonesia seperti telah diundangkannya UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang memuat berbagai ketentuan tentang masalah anak di Indonesia. Selanjutnya juga telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional yang semenjak tahun tersebut telah diperingati. Kemudian berdasarkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 1989 telah ditetapkan tentang Pembinaan Kesejahteraan Anak sebagai landasan hukum terciptanya Dasawarsa Anak Indonesia 1 tahun 1986 - 1996 dan Dasawarsa Anak II tahun 1996 - 2006.
Untuk melaksanakan koordinasi peningkatan kualitas anak telah ditetapkan Instruksi Presiden No. 3 tahun 1997. Disamping itu juga telah diundangkan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang No. 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja (15 tahun) dan Undang-Undang No.1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Yang cukup mendasar mungkin adalah Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (RAN-HAM) telah menempatkan masalah anak dalam program aksi pemajuan dan peningkatan hak anak. Kemudian UU No. 33 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah menempatkan hak anak sebagai bagian integral Hak Asasi Manusia. Hal ini dapat terlihat dari 106 pasal yang mengatur Hak Asasi Manusia terdapat 15 pasal yang mengatur tentang hak anak yakni pasal 52 sampai dengan pasal 66.
Namun sayangnya, langkah-langkah tersebut belum diikuti oleh kesadaran aparatur negara maupun masyarakat, bahwa anak secara hukum mempunyai hak fundamental untuk mendapatkan perlindungan yang memadai. Ada kesan bahwa langkah secara hukum masih sebatas slogan politik dan lips service. Kesan ini terlihat bahwa kebijakan politik pembangunan Indonesia belum sensitif pada hak anak sehingga pelanggaran demi pelanggaran terhadap anak di Indonesia terus meningkat. Selain itu komitmen Indonesia dalam mengambil langkah hukum juga belum diikuti harmonisasi dengan peraturan yang lainnya. Sehingga sering tumpang tindih dan bahkan bertolak belakang.
Ini dibenarkan oleh DR.Irwanto yang juga Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan YKAI. "Kultur birokrasi yang amat kental masih terlihat pada kebijakan pemerintah yang tidak pro-anak. Oleh para birokrat persoalan anak dianggap "ringan" dan "a-politis". Ini tampak dari pembahasan untuk pembuatan kebijakan atau peraturan yang waktunya hanya dalam bilangan minggu. Bandingkan dengan pembahasan masalah lain, apalagi yang berkaitan dengan masalah yang dianggap paling penting, yakni ekonomi dan politik.
Pemantauan Pelaksanaan KHA Di Indonesia
Salah satu kewajiban negara yang sudah meratifikasi KHA adalah membuat laporan kepada PBB. Untuk Indonesia laporan implementasi Konvensi Hak Anak kepada Komite Hak Anak PBB baru dilakukan pertama pada tahun 1992. "Seharusnya laporan pemerintah Indonesia yang kedua harus sudah masuk tahun 1997", ujar Mohammad Farid, koordinator pembuatan laporan yang juga anggota NGO Group for the Yogyakarta. Konon laporan kita dikembalikan tahun 1997 karena tidak mencantumkan kasus Santa Cruz, Dili tahun 1991, sehingga dikembalikan oleh PBB.
Perlunya Komisi Nasional Hak Anak
Belajar dari pengalaman Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, maka pemerintah sudah selayaknya membuat Komisi Nasional Hak Anak sebagai salah satu wujud dari implementasi KHA. Komisi ini dipilih dan ditetapkan oleh DPR dan mewakili berbagai kelompok masyarakat dan disahkan dengan Undang-Undang. Dengan adanya komisi ini maka pelaporan KHA baik secara periodik maupun alternative report akan menjadi sesuatu hal yang melekat dalam mekanisme tugas komisi, disamping tentunya ada fungsi-fungsi advokasi yang mencakup semua hak dasar dalam KHA yaitu Hak untuk kelangsungan hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk memperoleh perlindungan dan hak untuk berpartisipasi.
Disisi lain, guna mengkoordinasikan kegiatan penanganan masalah anak-anak di Indonesia secara mandiri baik oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat maka sudah selayaknya juga dibentuk Badan Khusus yang menangani kebijaksanaan nasional masalah anak yang terdiri dari lintas sektoral dan beranggotakan LSM, media, masyarakat. Badan ini diharapkan dapat langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Di negara tetangga kita Malaysia, badan sejenis dinamakan Majelis Kebijakan Kanak-Kanak yang langsung bertanggung jawab kepada Perdana Menteri dan mengkoordinasikan penanganan masalah anak.
-------
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thank you have visited