Kamis, 22 Desember 2016

Mengenal Budaya Pasola dari Sumba

Asal Kata Pasola

Secara etimologis, pasola berasal dari kata sola atau hola yang berarti lembing atau tombak. Kemudian kata dasar sola atau hola mendapat awalan pa yang berarti saling. Jadi kata pasola dapat diartikan sebagai saling menombak atau menyerang dengan lembing.
Dan secara terminoligis, pasola berarti permainan ketangkasan melemparkan lembing atau tombak [tumpul] dari atas kuda ke arah “lawan” dalam rangkaian upacara tradisonal suku Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu.
Tradisi pasola diadakan di empat lokasi berbeda di kabupaten Sumba Barat secara bergiliran.  Keempat tempat tersebut adalah kampung Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura.  Waktu pelaksanaannya jatuh pada sekitar bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya, tergantung dari penaggalan tradisonal Sumba.

Sejarah

Menurut cerita rakyat Sumba yang berkembang secara turun temurun, Tradisi Pasola berawal dari kisah seorang janda cantik bernama Rabu Kaba di Kampung Waiwuang yang mempunyai seorang suami bernama Umbu Dulla, salah satu pemimpin di kampung Waiwuang.
Pada suatu hari, Umbu Dulla pamit kepada isterinya untuk pergi melaut bersama dua orang pemimpin adat lainnya yaitu Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Namun dalam perjalanan, mereka bertiga berubah pikiran dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke selatan pantai Sumba untuk bercocok tanam padi. Oleh karena itu, mereka tidak pulang dalam waktu lama sehingga rakyat mereka menganggap mereka telah meninggal di laut. Rakyat pun mengadakan upacara perkabungan. Dalam keadaan yang demikian itulah, janda cantik dari almarhum Umbu Dula, Rabu Kaba terlibat asmara dengan Teda Gaiparona, seorang laki-laki dari Kampung Kodi.
Teda Gaiparona bermaksud mempersunting Rabu Kaba namun ditentang oleh keluarga kedua belah pihak sehingga mereka kawin lari. Beberapa waktu berselang, Umbu Dula kembali ke rumah bersama kedua pemimpin lainnya. Alangkah terkejutnya Umbu Dulla mendapatin isterinya telah dipersunting oleh orang lain. Dia berusaha mengajak isterinya pulang namun menolak karena sudah terlanjur cinta dengan Teda Gaiparano.
Untuk memuluskan perkawinan mereka, Teda Gaipora mengganti kepada Umbu Dulla sejumlah belis [semacam mahar] yang dulu dibayarkan kepada Rabu Kaba berupa kuda, sapi, kerbau, dan barang-barang berharga lainnya.  Setelah seluruh belis dilunasi, barulah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dan Teda Gaiparona dapat dilangsungkan.  Pada akhir pesta pernikahan, Umbu Dulla meinta warga Waiwuang untuk mengadakan pesta penagkapan nyale [cacing laut] dengan melaksanakan tradisi  pasola untuk melupakan kesedihannya yang talah kehilangan isteri.

Prosesi Upacara

Upacara pasola selalu diawali dengan serangkaian prosesi adat penangkapan nyale sebagai wujud rasa syukur terhadap anugerah Tuhan yang melimpah seperti suksesnya panen. Nyale adalah bahasa setempat untuk cacing laut yang apabila muncul dalam jumlah banyak di tepi pantai, maka ini merupakan pertanda baik buat masyarakat setempat. Kemunculan nyale merupakan lambang kemakmuran bagi masyarakat Sumba dan sekitarnya. Upacara penangkapan nyale dilaksanakan pada malam bulan pernama dan dipimpin oleh   Para Rato , pemuka adat Sumba.
Setelah upacara penangkapan nyale sukses yang ditandai dengan banyaknya hasil tangkapan yang kemudian “disidangkan” di hadapan Majelis Para Rato, maka setelah itulah upacara pasola dapat dilaksanakan. Pasola dilaksanakan di lapangan yang luas sebagai “medan pertempuran” dan disaksikan oleh seluruh warga dan wisatawan baik lokal maupun internasional.

Setiap kelompok yang terlibat dalam pasola terdiri dari sekitari 100 orang pemuda bersenjatakan sola [tombak]  yang terbuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm. Kedua keompok pemuda tersebut saling berhadapa-hadapan dan saling menyerang layaknya sebuah peperangan sungguhan antara dua kelompok kesatria Sumba. Dalam pelaksanaannya, tradisi pasola tidak jarang memakan korban jiwa. Dalam kepercayaan Marapu, korban yang terjatuh merupakn orang yang mendapatkan hukuman dari para Dewa karena telah melakukan dosa dan kesalahan dan darah yang tercucur dianggap membri pertanda kesuburan tanah dan tanaman pada musim tanam mendatang.

Sumber :http://tourkomodofloreskelimutu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thank you have visited