Jumat, 11 Agustus 2017

Asal-usul Garuda

Garuda kita kenal sebagai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahukah kita semua kenapa burung Garuda dipilih sebagai lambang negara kita yang besar? Bagaimana asal-usul dan sosok sang Garuda dalam kepercayaan ataupun mitologi para nenek moyang dan pendiri bangsa kita?

Garuda dalam khasanah sejarah Nusantara muncul dalam berbagai mitologi yang diajarkan dalam agama Hindu. Garuda merupakan burung gagah perkasa yang diyakini sebagai tunggangan Dewa Wisnu. Pada masa pemerintahan Raja Airlangga di Kahuripan, untuk mengokohkan kedudukan politiknya, Airlangga dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu. Kemudian digambarkanlah Airlangga sebagai titisan Wisnu yang sedang mengendarai Garuda. Garuda Wisnu Kencana, simbolisasi itulah yang dipergunakan sebagai simbol Kerajaan Kahuripan. Lalu bagaimana asal-usul Garuda dalam kisah mitologi agama Hindu?

Alkisah di negeri dongeng, tersebutlah seorang guru nan bijaksana bernama Resi Kasyapa.  Resi ini memiliki dua orang istri yang bernama Kadru dan Winata. Masing-masing dikaruniai anak-anak berupa Naga dan Garuda. Meskipun sang resi sangat bijaksana dan bersikap adil terhadap kedua istrinya, namun Kadru senantiasa merasa cemburu terhadap Winata. Maka dalam setiap kesempatan ia senantiasa ingin menyingkirkan Winata dari perhatian dan lingkaran keluarga. Segala tabiat dan niat jahat seringkali dijalankan untuk menjauhkan Winata dari suami mereka.

Pada suatu ketika, para dewa mengaduk samudra purba dengan air suci amertha sari, air suci yang membawa keabadian bagi siapapun makhluk yang meminumnya. Bersamaan dengan peristiwa itu muncullah kuda yang bernama Ucaihsrawa. Didorong oleh rasa kecemburuan yang telah menahun, Kadru menantang Winata untuk bertaruh mengenai warna kuda Ucaihsrawa. Barang siapa yang kalah dalam pertaruhan tersebut, maka ia harus menjadi budak seumur hidup yang harus taat dan patuh terhadap apapun kehendak dan perintah sang pemenang. Dalam taruhan, Kadru bertaruh Ucaihsrawa berwarna hitam. Sedangkan Winata memilih warna putih.

Para Naga tahu bahwa kuda Ucaihsrawa sebenarnyalah berwarna putih. Mereka kemudian melaporkan hal tersebut kepada Kadru, ibunda mereka. Atas pelaporan para Naga, putranya, Kadru secara licik memerintahkan para Naga untuk menyemburkan bisa mereka ke tubuh kuda putih agar nampak seperti kuda hitam. Pada saat Ucaihsrawa tiba di hadapan Kadru dan Winata, nampaklah kuda yang dipertaruhkan berwarna hitam, bukan putih sebagaimana aslinya. Singkat cerita, Winata harus menjadi budak dan melayani segala perintah Kadru seumur hidupnya yang tersisa.

Sebagai anak yang sangat berbakti kepada ibundanya, Garuda merasa sangat marah atas kelicikan para Naga yang telah membuat kebohongan besar atas diri Winata. Dengan kemarahan meluap, diseranglah para Naga. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat di atas langit, antara Garuda dan para Naga. Dikarenakan kekuatan dan kesaktian diantara kedua kubu sama dan seimbang, maka perang itupun berlangsung sepanjang saat sebagai simbol keabadian pertempuran antara nilai kebaikan dan kebatilan.

Karena pertempuran berlangsung sekian lama panjangnya, para Naga bersedia memberikan pengampunan atas perbudakan terhadap Winata asalkan Garuda mampu memberikan tirta suci amertha sari yang dapat memberikan keabadian hidup mereka dan ibunya. Akhirnya sang Garuda menyanggupi apapun yang harus ia lakukan asalkan ia dapat membebaskan ibundanya.

Dalam pengembaraan pencarian tirta suci amertha sari, Garuda berjumpa dengan Dewa  Wisnu. Ketika dimintakan air suci tersebut, Wisnu mempersyaratkan akan memberikan air tersebut, asalkan  sang Garuda menyanggupi diri untuk menjadi tunggangan bagi Dewa Wisnu. Garuda selanjutnya mendapatkan tirta suci amertha sari yang ditempatkannya dalam wadah kamandalu bertali rumput ilalang.

Dengan air suci mertha sari, para Naga berniat mandi untuk segera mendapatkan keabadian hidup. Bersamaan dengan itu, Dewa Indra yang kebetulan melintas mengambil alih air suci. Dari wadah Kamandalu, tersisalah percikan air pada sisa tali ilalang. Tanpa berpikir panjang, percikan air pada ilalang tersebut dijilati oleh para Naga. Tali ilalang sangatlah tajam bagaikan sebuah mata pisau. Tatkala menjilati ilalang tersebut, terbelahlah lidah para Naga menjadi dua bagian. Inilah asal-usul kenapa seluruh keluarga besar Naga dan semua keturunannya memiliki lidah bercabang.

Kegigihan Garuda dalam membebaskan ibunda tercintanya dari belenggu perbudakan yang tidak mengenal rasa peri kemanusiaan inilah yang kemudian oleh para founding fathers kita diadopsi secara filosofis dan disimbolisasikan dalam lambang negara kita. Garuda bermakna sebagai simbol pembebasan ibu pertiwi dari belenggu perbudakan dan penjajahan. Dengan lambang Garuda yang gagah perkasa, para pendahulu berharap Indonesia akan menjadi bangsa besar yang bebas dalam menentukan nasib dan masa depannya sendiri.


Unsur kesejarahan Garuda Wisnu Kencana ini mengilhami akan dibangunnya patung raksasa Garuda Wisnu Kencana di ujung selatan Pulau Dewata. Dengan rencana ketinggian patung sekitar 120 meter, patung tersebut kelak akan menjadi patung landmark tertinggi di dunia. Garuda Wisnu Kencana merupakan ikon dan landmark Pulau Bali, bahkan sudah tentu landmark bagi Indonesia. Megaproyek yang sudah dimulai di akhir masa Orde Baru ini hingga kini masih tersendat pembangunannya. Dari keseluruhan tubuh Garuda Wisnu Kencana baru beberapa bagian yang selesai terakit, diantaranya kepala Wisnu, kepala Garuda dan bagian tangan Wisnu.

Sumber:by sang nanang

Nama INDONESIA

SEPARUH isi tulisan ini "menjiplak" milik Mohammad Hatta. Betul, Hatta yang proklamator Indonesia, alias Bung Hatta, juga setengah penggalan nama dwi-tunggal Soekarno-Hatta.
Jadi, jangan sampai nanti ada yang bilang bahwa tulisan ini plagiarisme ya. Sudah ada pengakuan di depan, kalaupun sejumlah kalimat tak lagi dirasa perlu diutak-atik dari milik Hatta.
Pada 8 Desember 1928, tulisan Hatta yang mengungkap sejarah panjang asal-usul nama Indonesia terbit di De Socialist edisi Nomor 10. Media ini beredar di Belanda, tempat Hatta pernah bersekolah.
Judul dan isi tulisan Hatta itu aslinya menggunakan bahasa Belanda. Baru pada 1980 artikel tersebut diterjemahkan dan diterbitkan kembali oleh Yayasan Idayu.

Berikutnya, Penerbit Buku Kompas memunculkan lagi artikel itu pada 2015. Judul yang dipasang adalah "Tentang Nama Indonesia", satu dari 36 tulisan dalam buku “Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1927-1977)".
Tulisan tersebut merupakan tangkisan tajam Hatta terhadap sejumlah orang dan kelompok yang menyatakan ketidaksukaan pada nama Indonesia.
"Hanya mereka yang keberatan terhadap kemerdekaan segera Indonesia mencap (buruk) nama tersebut, yang mengandung gagasan kemerdekaan sebagai 'kata yang mengerikan'," kecam Hatta  menjelang akhir tulisan tersebut.

Kewilayahan dan etnologis

Runut, renyah, sekaligus tajam, Hatta bertutur soal sejarah nama Indonesia. Pertama, dia mengoreksi kredit yang sempat dilekatkan kepada orang Jerman bernama Adolf Bastian soal asal-usul penamaan ini.
Bastian, Guru Besar Etnologi di Universitas Berlin kelahiran  1826 dan meninggal pada 1905 memang punya andil besar mengenalkan nama Indonesia. Tepatnya, sejak dia menggunakan nama itu bagi penyebutan wilayah di Kepulauan Nusantara dalam artikel berjudul "Indonesien order die Inseln des malayischen Archipels" pada 1884.

Sejak itu, tulis Hatta, Indonesia jadi lazim dipakai dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu bangsa-bangsa dan ilmu bahasa.
Namun, lanjut Hatta, penelitian Kreemer yang kemudian ditulis dalam "Kolonialiaal Weekblad" terbitan 3 Februari 1927, menyebutkan asal-usul nama Indonesia sudah lebih tua lagi.
Menurut Kreemer, nama Indonesia sudah dipakai ilmuwan Inggris bernama JR Logan pada 1850. Penamaan itu bisa ditemukan dalam artikel Logan berjudul "The Ethnology of the India Archipelago" dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia.
Kalau mau ditelisik lebih lanjut, ungkap Hatta, penyebutan mendekati kata "Indonesia" sudah lebih dulu lagi dimunculkan oleh GW Earl, ilmuwan Inggris juga. Bedanya, Earl menggunakan terminologi "Indunesians" dan "Malayunesians", sebagai penyebut untuk penduduk yang tinggal di kawasan yang sama.
Bila Earl menyatakan kata "Indunesians" hanya dalam arti etnologis, tulis Hatta, Logan memberikan pada kata Indonesia suatu pengertian geografis murni untuk menyebut kepulauan yang sekarang masuk wilayah Indonesia.
“Sekalipun dia (Logan) bukan penganjur penambahanpenamaan-penamaan Yunani, dia sama sekali tidak berkeberatan terhadap nama Indonesia, yang bagi orang Eropa bernada Yunani, karena menurut pendapatnya kata nusa (pulau) yang berasal dari bahasa Melayu itu mungkin sama tuanya dengan kata nesos Yunani,” papar Hatta.

Arti politik

Dalam artikel tersebut, Hatta pun menjabarkan runutan penggunaan nama Indonesia untuk tujuan politik. Menurut dia, nama Indonesia sudah terus dipakai oleh Perhimpunan Indonesia sejak 1922.
Indonesia, lanjut Hatta, juga resmi dipakai oleh Gerakan Perdamaian Internasional Sipil, untuk merujuk wilayah yang waktu itu disebut Belanda sebagai Hindia Belanda.
“Bagi kami orang Indonesia, nama Indonesia mempunyai arti politik dan menyatakan suatu tujuan politik. Dalam arti politik karena dia mengandung tuntutan kemerdekaan, bukan kemerdekaan Hindia-Belanda melainkan kemerdekaan Indonesia dari Indonesia (Indonesisch Indonesie),” ungkap Hatta.

Dia pun menjelaskan, penamaan Indonesia juga menyatakan suatu tujuan politik. “Karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air di masa depan dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya,” tegas dia.
Tambahannya, Hatta menyebut bahwa pada saat tulisannya itu terbit sudah tak ada lagi satu pun koran Indonesia yang memakai kata Hindia Belanda sebagai terjemahan harfiah dari Nederlands-Indie.
Penjelasan lebih lanjut Hatta soal arti politik penamaan Indonesia, dimuat dalam artikel terpisah yang terbit di Indonesia. Dalam buku terbitan Penerbit Buku Kompas, artikel itu dimuat menggunakan judul Sekitar Perjuangan untuk Indonesia, dari tulisan Hatta yang dimuat pada 1929 di Indonesia Merdeka.
Jadi, salah besar ternyata bila ada yang mengira nama Indonesia baru muncul saat Sumpah Pemuda pada 1928 apalagi baru dalam naskah proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945.

SUMBER: Kompas.com