Selasa, 11 April 2023

NAMA-NAMA ALLAH

     A. Nama-Nama Allah Secara Umum

Nama-Nama Tuhan dalam Bahasa Ibrani  

    Alkitab mencatat sejumlah nama-nama Allah, Alkitab juga membicarakan nama-nama Allah dalam bentuk tunggal, misalnya dalam pernyataan ayat-ayata berikut: “Jangan menyerbut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan” (Kel 20:7), “ Seperti nama-Mu, ya Allah, demikianlah kemasyhuran-Mu sampai ke ujung bumi” (Maz 48:11), “nama-Nya masyhur di Israel” (Maz 76:2), Nama TUHAN adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat” (Ams 18:10). Dalam ayat-ayat diatas, “nama” itu berdiri sebagai seluruh manifestasi Allah dalam hubunganNya dengan umatNya, atau hanya untuk pribadi, sehingga nama itu menjadi sinonim dengan Allah. Dalam pengertian yang paling umum dari arti kata itu, nama Allah adalah WahyuNya sendiri. Nama itu adalah petunjuk atas diri Allah, bukan sebagaimana Ia ada dalam kedalaman Jatidiri IlahiNya, tetapi sebagaimana Ia menyatakan diriNya terutama dalam hubunganNya dengan manusia.

    Nama Allah membawa kesulitan bagi pikiran manusia. Allah adalah Ia yang tak dapat sepenuhNya dipahami, yang tak terbatas tingginya, akan tetapi dalam nama-namaNya Ia turun dari yang tertinggi kedalam semua yang terbatas dan seolah-olah menjadi sama dengan manusia. Nama-nama itu bukan hasil penemuan dari manusia dalam proses pengenalan akan Allah, tetapi nama-nama itu pemberian Allah sendiri dengan satu jaminan bahwa nama-nama itu menhgandung wahyu dari Jatidiri Ilahi. Dalam upaya memperkenalkan diriNya kepada manusia, Allah merendahkan diriNya sampai setara dengan manusia, sehingga Ia dapat dipahami oleh kesadaran dan pengetahuan manusia yang terbatas. Dr. Bavink mendasarkan pembagian dari nama-nama Allah dalam konsep yang luas tentang nama-nama itu, dan membedakan antara “nomina propria” (nama diri), “nomina essential” (nama-nama esensial atau sifat) dan “nomina personalia” (nama-nama pribadi seperti Bapa, Anak dan Roh Kudus).

B. Nama-Nama dalam Perjanjian Lama dan Artinya

 1. El, Elohim dan Elyon.

    Nama yang paling sederhana yang dengannya Allah disebut dalam Perjanjian Lama adalah nama “El”, yang sangat mungkin berasal dari kata “ul”, yang berarti menjadi yang pertama, menjadi tuan, dan juga berarti kuat dan berkuasa. Nama Elohim (bentuk tunggalnya adalah “Eloah”) mungkin berasal dari akar kata yang sama, atau berasal dari kata alah yang berarti “dilingkupi ketakutan”, dengan demikian menunjukan kepada Allah sebagai Dia yang kuat dan berkuasa, atau merupakan obyek dari rasa takut. Nama Elohim ini jarang ditemukan dalam bentuk tunggal, kecuali dalam bentuk puisi. Nama “Elyoan” diturunkan dari kata alah juga, dan berarti “ke atas”, “ditinggikan”, dan ditujukan kepada Allah sebagai Dia yang paling tinngi dan dimuliakan ("Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, … dan terpujilah Allah Yang Mahatinggi, Kej 14:19-20; “dan yang beroleh pengenalan akan Yang Mahatinggi” Bil 24:16; hendak menyamai Yang Mahatinggi! ,Yes 14:14). Nama ini bukan nomina propria karena memiliki arti yang sangat sempit, karena digunakan untuk berhala (Maz 95:3; 96:5), untuk menunjuk manusia, (Kej 33:10; Kel 7:1), dan tentang penguasa (Hak 5:8; Kel 21:6; 22:8-10; Maz 82:1).

 2. Adonai.

    Nama Adonai ini sangat erat hubungannya dengan nama El, Elohim, atau Elyon. Kata Adonai mungkin diturunkan dari kata “dun (din) dan adan” yang berarti menghakimi, memerintah, dan dengan demikian menunjuk kepada Allah sebagai penguasa yang kuat, kepada siapa yang berhadapan, dan kepada manusia yang adalah hamba. Dahulu bagsa Israel menyebut Allah dengan sebutan Adonai, tetapi kemudian diganti dengan sebutan Yehova atau Yahweh. Nama yang disebutkan itu menunjuk kepada Allah y sebagai Dia yang tinngi dan mulia, Allah yang transenden.

 3. Shaddai dan El-Shaddai.

    Nama “Shaddai” diturunkan dari kata “shadad” yang berarti penuh kuasa, dan menunjuk kepada Allah yang sebagai pemilik kuasa di surga dan di bumi. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa nama ini berasal dari kata “shas” yang berarti tuan. Nama ini berbeda dengan nama “Elohim” Allah pencita dari alam semesta, dalam arti bahwa nama “Shaddai” menunjuk kepada Allah sebagai subyek dari semua kekuatan di alam dan memakai segala sesuatu dialam sebagai alat ataui sarana bagi karya ilahi. “Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat”, (Ul 10:17). Walaupun menekankan Kebesaran Allah, nama ini tidak mewakili Allah sebagai obyek rasa takut atau kegentaran, tetapi sebagai sumber berkat dan damai. Dengan nama inilah Allah datang kepada Abraham, bapa segala orang beriman. “Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Mahakuasa”, (Kel 6:2).

 4. Yahweh dan Yahweh Tsebhaoth.

    Terutama dalam “Yahweh” yang perlahan-lahan menggantikan nama-nama yang lain inilah Allah menyatakan diriNya sebagai Allah anugerah. Nama ini dianggap paling sakral dan paling diangungkan diantara nama-nama yang lain, sebagai Allah yang tidak mungkin berubah. Orang Yahudi mempunya rasa takut tersendiri untuk menyebut nama ini, karena mereka selalu ingat kepada ayat ini “Siapa yang menghujat nama TUHAN, pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh seluruh jemaah itu. Baik orang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama TUHAN, haruslah dihukum mati” (Im 24:16). Baik orang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama Tuhan haruslah dihukum mati. Karena rasa takut itu maka dalam membaca Kitab Suci orang Yahudi mengganti nama Yahweh dengan sebutan “Adonai” atau “Elohim” dan kelompok Massoret walaupun tetap membiarkan konsonan dari itu tidak berubah, mereka memberikan kepada konsonan itu vokal-vokal dari kata Elohim dan Adonai, tetapi biasanya vokal dari kata Adonai lebih banyak dipakai. Kitab Pentateuch menghubungkan nama ini dengan kata kerja bahasa Ibrani “hayah” yang berarti “adalah” atau “berada” (Kel 3:13-14). Dalam Keluaran 3:14 mengatakan "AKU ADALAH AKU" atau bisa juga berarti “Aku akan menjadi apa yang Aku akan menjadi”. Nama ini mengandung jaminan bahwa Allah akan menjadi milik bagi umat Israel pada jaman Musa, sama seperti Allah menjadi Allah bagi Bapa leluhur mereka Abraham, Ishak, dan Yakub. Nama ini menekankan kesetian perjanjian Allah dan merupakan nama diri Allah secara “par exellence” (Kel 15:3; Maz 83:19; Hos 12:6; Yes 42:8) dengan demikian tidak dipakai untuk siapapun, kecuali untuk Allah orang Israel.

    Nama Yahwe sering diperkuat dengan tambahan kata “tsebaoth”. Origen dan Yerome menganggap kedua kata ini berlawanan, sebab kata Yahweh tidak bisa dalam bentuk konstrukt. Akan tetapi tafsiran ini tidak mendapat dukungan dan hampir tidak ada alasan kuat untuk menerimanya. Sulit menjelaskan kata tsebhaoth ini menerangkan apa, dan tentang arti nama tsebhaoth ini ada tiga pendapat utama

a) Tentara Israel. Kebenaran ini masih diragukan. Hanya ada tiga ayat yang sedikit menunjuk ke arah pembuktikan ini, yaitu (1 Sam 4:4; 17:45; 2 Sam 6:2), sedangkan salah satu ayat-ayat itu tidak mendukung (2 Raj 19:31).

b) Bintang-bintang. Akan tetapi dalam membicarakan tentang penghulu balatentara kerajaan sorga, Alkitab selalu memakai bentuk tunggal dan tak pernah dalam bentuk jamak. Lebih jauh lagi, bila bintang-bintang disebut sebagai penghulu kerajaan surga, bintang-bintang itu tidak menunjuk kepada penghulu tentara Allah

c) Malaikat-malaikat. Tafsiran ini lebih dapat diterima. Nama Yehovah Tsebhaoth sering ditemukan dalam hubungan-hubungan dimana malaikat disebut: (1 Sam 4:4; 2 Sam 6:2; Yes 37:16; Hos 112:4-5; Maz 80:1,4: Maz 89; malaikat-malaikat berulang kali dipakai untuk mewakili penghulu-penghulu yang mengelilingi takhta Allah, Kej 28:12; 32:2; Yos 5:14; 1 Raj 22:19; Maz 68:17; 103:21; 148:2; Yes 6:2. Memang benar bahwa dalam hal ini bentuk tunggalnya lebih sering dipakai, akan tetapi hal ini tidak menimbulkan keberatan yang serius, karena Alkitab juga menyebutkan sejumlah pembagian atas malaikat-malaikat (Kej 32:2; Ul 33:2; Maz 68:17). Lebih jauh lagi interpretasi ini ada dalam keselarasandengan arti nama itu, yang tidak mempunyai pengertian peperangan, tetapi merupakan ekspresi dari kemulian Allah sebagai raja ( Ul 33:2; 1 Raj 22:19; Maz 24:10; Yes 6:3; 24: 23; Zakh 14:16). Yehovah dari para penghulu adalah juga Allah yang penuh kemulian yang dikelilingi oleh penghulu-penghulu malaikat, yang memerintah lagit dan bumi demi umatNya dan yang menerima kemulian dari semua makhlukNya.

 C. Nama-Nama dalam Perjanjian Baru dan Tafsirannya.

 1. Theos.

    Theos merupakan nama Allah dalam Perjanjian Baru yang mempunyai bentuk setara dengan nama Allah dalam Perjanjian Lama. Bagi Nama El, Elohim dan Elyon, nama dalam bahasa Yunaninya adalah Theos, yang merupakan nama paling umum dari Allah. Seperti juga nama “Elohim”, nama ini juga mungkin saja merupakan penyersuaian dari nama ilah bangsa kafir, walaupun sesungguhnya secara tegas nama itu menyatakan keilahian yang esensial. “Elyon” sering disejajarkan dengan Huspistol Theos (Mark 5:7; Luk 1:32,35,75; Kis 7:48; 16:17; Ibr 7:1). Nama Shaddai dan El-Shaddai disejajarkan dengan Pantokrator dan Theos Pantokrator (2 Kor6:18; Why 1:8; 4:8; 11:17; 15:3; 16:7,14). Akan tetapi, pada umumnya Theos lebih sering muncul datam genetif yang menyatakan milik, seperti mou, sou, hemon, humon, sebab didalam Kristus, Allah dapat dianggap Allah dari segala umatNya atau anak-anakNya. Ide nasional Perjanjian Baru telah memberi tempat bagi orang-orang secara individual dalam beragama.

2. Kurios.

    Kurios adalah nama Yahweh dieksplesitkan beberapa kali oleh variasi-variasi dari bentuk deskripif seperti “Alfa dan Omega” Yang dulu ada, yang sekarang ada dan yang akan tetap ada”, “yang awal dan yang akhir”, “yang pertama dan terakhir”. (why 1:4, 8, 17; 2:8; 21:6; 22:13). akan tetapi selebihnya Perjanjian Baru mengikuti Septuaginta yang menggantikan Adonai denga kata Kurios, yang diturunkan dari kata kuros yang berarti kuasa. Nama ini tidak mempunyai konotasi yang tepat sama dengan Yahweh, tetapi menunjuk pada Allah Yang Mahakuasa, Tuhan, Pemilik, Penguasa yang memiliki otoritas atau kekuasan yang resmi. Dan Kurios juga menunjuk pada Kristus.  

 3. Pater.

    Pater (Bapa) sering dipake dalam Perjanian Baru, Pater atau Bapa ditunujujan kepada Allah. Hal ini hampir tidak benar, krena nama Bapa, Ayah, Amang, Ama, Papa tidak cocok dan bahkan tidak benar jika kita pakai untuk menunjuk Allah pencipta alam semesta,. Kata ini juga dipake dalam Perjqnjian Lama untuk menunjuk hubunga Allah dan bagsa Isreal. (Ul 32:5; Maz 103:13; Yes 63:16: 64:8; Yer 3:4,19; mAL 1:6; 2:10), Sedangkan Israel disebut sebagai anak Allah (Kel 4:22;Ul 14:1; 32:19’ Yes 1:2; Yer 31:20; Hos 1:10; 11:1). Dalam Perjanjian Baru kata Pater dipake dan menunjukan hubungan yang khususdimana pribadi pertama dari Allah Tritunggal berelasi dengan Kristus, sebagai Anak Allah, baik dalam pengertian metafisis atau dalam penegrtian sebagai pengantara hubungan etis di mana Allah berdiri bago orang percaya sebagai anak-anak rohaniNya.

 

KESIMPULAN

    Allah itu Agung dan Maha Besar, nama-Nya mengatasi segala nama, nama Allah penuh kuasa. Untuk dapat memahamiNya secara langsung adalah kemustahilan belaka, Hanya oleh kasih karunia kita dapat mengenalNya. Dalam Perjanjian Lama kita dapat mengenal beberapa nama yang ditujukan kepada Allah “El”, “Elohim”, “Adonai” “Saddai atau El-Saddai”, dan “Yahweh dan Yahweh Tsebhaoth.” sedangkan dalam Perjanjian Baru kita mengenal beberapa namayang ditujukan kepada Allah yaitu, “Theos”, “Kurios”, “Pater”.

    Dengan adanya Nama-nama Allah ini membuat kita untuk memanggil Allah dengan sebutan yang adal. Tetapi tidak menjadi batasan bagi kita untuk memanggil atau menyebutNya, karena jika dengan demikian kita membatasi yang Maha Kuasa, Maha Agung, Maha Sempurna, dan yang tak terbatas, hanya dengan sebuah nama. Allah kita tidak dibatasi oleh apapun.

 

 DAFTAR PUTAKA

 

Louis Berkhof, Teologi Sistematika, Vol. 1. Doktrin Allah, hal.76-76. yang diterjemahkan oleh, Yudha Thianto. Cetakan

 

By: James_deo

Kamis, 06 April 2023

Apakah Orang Kristen Boleh Bercerai dan Menikah Lagi Karena Perzinahan?

Awas! Beda Pilihan Politik Juga Bisa Bikin Suami-Istri Cerai
Picture: Detik.com

 

Mat 19:9 “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."

Pertanyaan tentang perceraian ini muncul saat beberapa orang Yahudi bertemu dengan Yesus lalu bertanya kepada-Nya. Karena pada zaman itu ada dua orang rabi di Israel yang memberikan pandangan yang berbeda dan pada prinsipnya mendukung perceraian. 1 Rabi Hilel “Bahwa perceraian itu boleh terjadi dengan suatu alasan tertentu”. Sedangkan 2 Rabi Shamai lebih ketat dan mengatakan “Bahwa perceraian hanya bisa dilakukan kecuali ada perziinahan”. Pada hal didalam Taurat sudah dikatakan bahwa Allah membenci perceraian, Maleakhi 2:16 FAYH “TUHAN, Allah orang Israel, telah berfirman bah Ia membenci perceraian dan orang-orang yang kejam terhadap istri mereka. Karena itu, kendalikanlah nafsuh berahimu-jangan ada di antara kamu yang menceraikan istrinya”. Dan peraturan ini sudah diketahui oleh semua orang Yahudi. Tetapi karena pengaruh kedua rabi di atas dengan pendapatnya masing-masing maka membuat bangsa Israel bingung dengan peraturan yang ada didalam Taurat.

Ketika Yesus mendengar pertanyaan ini Yesus tidak memberikan jawaban yang mendukung pendapat salah satu dari rabi diatas. Tetapi Yesus berkata bahwa standar penikahan harus dikembalikan kepada awalnya, yakni tidak ada perceraian dengan alasan apapun seperti awal mulanya, sebelum manusia jatuh dalam dosa, seoarang laki-laki akan pergi meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga mereka menjadi satu. Jadi apa yang sudah dipersatukan Allah tidak dapat dipisahkan oleh manusai, Kej 2:24, Mat 19:4-6.

Nah kita lihat konteks dalam Mat 19:9 ini, kata zinah yang pertama dalam firman ini dalam bahasa ibraninya adalah pornea yang berarti percabulan, sedangkan kata zinah keduanya “moikau” yang berarti berzinah. Pornea bisa diartikan atau ditafsirkan dalam tiga hal. 1 Pornea bisa berarti semua dosa percabulan yaitu, onani, pornografi, pelacuran, homoseksual, lesbian dan semua jenis dosa seksual. Dari sini kita bisa melihat apakah perceraian bisa dilakukan karena seorang suami onani atau nonton video porno? Jadi ini akan sangat sulit diterima, karena jika demikian tidak ada pernikahan yang utuh. Karena imajinasi seksual juga merupakan dosa percabulan. 2 Karena pornea juga termasuk semua dosa percabulan maka itu juga bisa dikatakan perzinahan, dimana kita melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang sudah menikah atau mempunyai ikantan pernikahan yang sah. Jika ini yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus, mengapa Ia tidak menggunakan kata “moikau” yang lebih tepat dan tidak bisa diartikan dengan tafsiran yang lain. Karena “moikau” berarti melakukan hubungan seksual dengan seseorang sudah menikah dan masih memiliki ikatan pernikahan yang sah. Jadi yang kedua ini juga tidak logis. 3 Pornea juga mempunyai arti hubungan seksual dengan pasangan yang belum menikah atau. Jika ini terjadi, maka orang tersebut melakukan dosa pornea. Mungkin ini yang dimaksudkan oleh Yesus mengenai pornea tersebut. Karena dalam adat istiadat orang Yahudi ada dua macam sebutan “suami-istri” yaitu yang sudah menikah secara sah dan yang masih bertunangan bisa mereka sebut sebagai pasangan suami-istri tetapi mereka belum dapat melakukan hubungan seksual. Contohnya Yusuf dan Maria, Yusuf dan Marria masih bertungan tetapi dalam Alkitab ditulis sebagai suami istri. Maka pada saat Yusuf mengetahui bahwa Maria mengandung ia diam-diam berpikir untuk menceraikan Maria. Pada hal saat itu Yusuf belum menikahi Maria sebagai istri yang sah, karena saat itu masih bertunangan. Bagaimana seorang suami mau menceraikan istrinya jika mereka belum menikah? Tetapi inilah tradisi orang Yahudi. Nah mungkin ini yang dimasudkan oleh Yesus tentang perceraian, dalam Mat 19:9. Jadi hanya bisa bercerai kalau masih tunangan dan belum dipersatukan dalam ikatan pernikahan yang kudus atau suatu perjanjian pernikahan yang sakral didalam Kristus. (Eddy Leo)

Muncul lagi pertanyaan mengapa Musa mengijinkan adanya perceraian? Dan jawaban Yesus dengan sangat luar biasa “itu karena ketegaran hatimu atau dengan kata lain karena keras kepalamu dan keinginan nafsumu yang membuat kamu  menginginkan perceraian tersebut.

Jadi sebagai anak Tuhan yang sudah dilahirkan kembali didalam Kristus Yesus, pernikan tidak dapat dipisahkan oleh alasan apapun. Secara pribadi saya ingat akan setiap janji pernikan saya “Oleh anugerah dan kasih sayang Bapa surgawi, hari ini tanggal, bulan dan tahun dihadapan Tuhan, pemimpin dan jemaat, saya … (nama mempelai pria) mengambil ... (nama mempelai wanita) sebagai istri saya yang sah dan satu-satunya. Saya akan menjadi imam dan menjadi suami yang melindungi isrti saya dan menyayangi istri (nama mempelai wanita) dengan kasih kristus, serta menjadi bapak yang baik dan yang bertanggungjawab untuk setiap anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada kita. Janji ini akan saya lakukan baik dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin dan dalam keadaan apapun sampai maut memisahkan kita berdua’. Dari janji ini kita bisa melihat bahwa sebagai seorang kristen yang lahir baru tidak ada kata cerai atau pisah ranjang dengan alasan apapun. Jika benar perceraian diizinkan oleh Yesus karena perzinahan, kita dapat menambahkan dalam janji nikah kita, bahwa kita akan berpisah atau bercerai jika diantara kita ada yang berzinah.

Janji pernikahan kristen berbeda dengan janji nikah agama lain. Karena janji pernikahan kristen adalah perjanjian atas dasar kasih Kristus, dimana setiap pernikahan harus dibangun di atas dasar Kristus atau Kristus sebagai dasar dalam pernikahan tersebut.

Persoalan yang kita hadapi dalam pernikahan atau rumah tangga adalah hal yang biasa dan mungkin itu diijinkan Tuhan supaya kita selalu melibatkan-Nya dalam setiap proses kehidupan rumah tangga kita dan dalam setiap pengambilan keputusan. Dalam hubungan rumah tangga atau keluarga kita harus mempraktekan kasih Kristus dalam hal saling mengasihi, saling mengampuni, saling menerima dan dalam segala hal. Di sinilah, kita butuh kasih karunia Tuhan setiap saat dalam membangun hubungan suami-istri serta membutuhkan bimbingan dan hikmat Tuhan dalam membangung rumah tangga.

 

By: James Deogens Nenobais