Kamis, 04 Juli 2024

Sjafruddin Prawiranegara - Sang Presiden Yang Terlupakan

Malu itu bila mengambil milik orang lain atau mengambil uang negara” Ungkapan di atas merupakan prinsip hidup dari keluarga Sjafruddin Prawiranegara. Safruddin lahir di Serang, Banten, pada 28 Februari 1911. Prawiranegara lahir dari keluarga yang berpendidikan, Ayahnya adalah seorang jaksa. Oleh karena itu, ia pun sejak mudah sudah mendapatkan pendidikan. 1931 ia masuk pendidikan di Algemeene Middlebare School (AMS) sesudah lulus, ia melanjutkan pendidikan di Rechtshogescholl dan Sjafruddin meraih gelar Meeste in de Rechten (Mr). Sjafruddin Prawiranegara menyelesaikan studinya, lalu menjadi pegawai di salah satu radio swasta, kemudian ia menjadi petugas di Departemen Keuangan, baik pada zaman penjajahan Belanda maupun Jepang. Sesudah merdeka Sjafruddin Prawiranegara sempat menjabat menteri keuangan, perdana menteri, wakil perdana menteri, dan Guberbur Bank Indonesia. Sjafruddin pernah menjabat sebagai Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) kurang lebih 1 tahun. Prawiranegara dikenal sebagai sosok yang amanah yang memegang teguh kesetiaan kepada negaranya. Saking setianya, rahasia negara tidak pernah ia ceritakan pada siapa pun termasuk kepada istrinya. Ungkapan “Tertusuk gunting sang suami” ini dialami oleh istri Sjafruddin atas kebijakan yang telah dibuat olehnya. Karena kecintaan dan kesetiaannya terhadap Indonesia ia merelakan setengah dari gajinya untuk dipotong dan diberikan kepada negara. Tengku Halimah adalah istri dari seorang pejabat negara, ia tidak pernah menikmati fasilitas yang seperti biasanya dinikmati oleh para istri pejabat. ia harus menjual sukun goreng untuk memenuhi keperluan dalam rumah tangga mereka, karena hal inilah ada istilah “Sukun Goreng Ibu Presiden”. Kesederhanaan dalam keluarga Sjafruddin menginspirasi setiap warga negara untuk hidup mencukupkan diri dengan apa yang ada. Sebagai pejabat negara tidak perlu menggunakan hak jabatan untuk memperoleh fasilitas negara. Hidup dalam kemandirian, kesederhanaan, dan selalu mensyukuri setiap keadaan menjadi kekuatan untuk tetap hidup dalam kehendak Tuhan. 1 Timotius 6:6-8 TSI Tetapi secara rohani kita sungguh mendapatkan kekayaan besar —  kalau kita merasa puas dengan apa yang kita miliki dan tetap hidup sesuai dengan kehendak Allah. Memang kita tidak membawa apa-apa ke dalam dunia ini ketika kita lahir. Dan harta apa pun tidak kita bawa ketika kita meninggal dunia. Jadi kalau sudah ada makanan dan pakaian, cukupkanlah diri kita dengan itu. Sumber: Orange for Intergrity Juice Gambar : kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thank you have visited