Jumat, 07 November 2025

Keselamatan: Anugerah yang Harus Dijaga dengan Takut dan Gentar

✝️ Keselamatan: Anugerah yang Harus Dijaga dengan Takut dan Gentar

Keselamatan adalah anugerah Allah yang terbesar bagi manusia. Tidak seorang pun dapat memperolehnya melalui usaha atau perbuatan baik, sebab keselamatan semata-mata berasal dari kasih karunia Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib. Rasul Paulus menegaskan, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah.” (Efesus 2:8). Namun, anugerah ini bukanlah alasan bagi orang percaya untuk hidup sesuka hati, melainkan panggilan untuk hidup dalam kebenaran dan kekudusan.

Dalam Filipi 2:12–13, Paulus menasihati, “Kerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan gentar, sebab Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” Ayat ini menunjukkan bahwa keselamatan tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang statis, tetapi harus dijaga dan dikerjakan dengan kesungguhan hati. Allah bekerja di dalam diri orang percaya, namun manusia juga harus menanggapi karya Allah itu dengan ketaatan dan kesetiaan.

Keselamatan memang bersifat anugerah, dan bukan berarti hanya untuk dinikmati tanpa tanggung jawab. Anugerah menolong kita untuk semakin menjauhi dosa. Kasih karunia adalah kemampuan ilahi yang diberikan oleh Bapa, sehingga kita dapat mengalahkan dosa dan mampu berjalan dalam kebenaran. Dengan kata lain, kasih karunia tidak hanya membebaskan kita dari hukuman dosa, tetapi juga memampukan kita untuk hidup dalam kemenangan atas dosa.

Rasul Paulus menulis, “Kasih karunia Allah telah menyelamatkan semua manusia... Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil, dan beribadah di dunia sekarang ini.” (Titus 2:11–12). Dengan demikian, kasih karunia bukan sekadar jaminan keselamatan, melainkan kekuatan yang mengubah hidup orang percaya untuk menjadi serupa dengan Kristus.

Karena itu, keselamatan dapat hilang apabila seseorang dengan sadar menolak kasih karunia dan kembali kepada kehidupan yang berdosa. Ibrani 6:4–6 memperingatkan bahwa mereka yang telah mengenal kebenaran tetapi murtad, tidak dapat diperbaharui lagi untuk bertobat. Yesus pun menegaskan, “Barangsiapa bertahan sampai pada kesudahannya, ia akan selamat.” (Matius 24:13). Ini berarti keselamatan harus dijaga dengan iman yang teguh dan kehidupan yang berkenan kepada Allah.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk terus memelihara keselamatan dengan hidup dalam pertobatan, ketaatan, dan ketergantungan penuh kepada Roh Kudus. Kasih karunia bukan hanya dasar keselamatan, tetapi juga kuasa untuk tetap setia dalam perjalanan iman. Oleh sebab itu, marilah kita menjalani hidup ini dengan takut dan gentar di hadapan Allah, sambil bersyukur atas anugerah keselamatan yang telah kita terima di dalam Yesus Kristus.

"Kasih karunia bukan izin untuk berbuat dosa, melainkan kuasa untuk hidup dalam kebenaran"

Selasa, 04 November 2025

MANUSIA DICIPTAKAN UNTUK BEKERJA

 

MANUSIA DICIPTAKAN UNTUK BEKERJA

📖 Kejadian 2:8–9, 15

“Kemudian TUHAN Allah menempatkan manusia itu di taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”
(Kejadian 2:15, BIMK)


1. Pekerjaan adalah bagian dari rancangan Allah sejak awal

Ketika membaca kisah penciptaan dalam kitab Kejadian, kita menemukan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan penuh keteraturan. Setiap ciptaan diciptakan dengan tujuan yang jelas, dan setelah semuanya selesai, Allah menilai semuanya itu “sungguh amat baik” (Kejadian 1:31). Di tengah kesempurnaan ciptaan tersebut, Allah kemudian menempatkan manusia di taman Eden — bukan sekadar untuk menikmati hasil ciptaan, tetapi untuk bekerja dan memeliharanya.

Hal ini menunjukkan bahwa kerja bukan akibat dari dosa, melainkan bagian dari rencana Allah yang sempurna. Sebelum dosa masuk ke dunia, manusia sudah diberi tanggung jawab untuk bekerja. Dengan kata lain, bekerja adalah panggilan mulia dari Allah, bukan beban atau kutukan. Melalui pekerjaan, manusia berpartisipasi dalam karya Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara dunia.

Secara logika manusia, mungkin tampak aneh bahwa Adam harus bekerja di tengah taman yang sudah begitu indah dan lengkap. Namun, di sinilah letak hikmat Allah. Allah menciptakan manusia dengan kemampuan berpikir, berkreasi, dan mengelola. Maka, pekerjaan adalah sarana bagi manusia untuk menyalurkan potensi ilahi yang ditanamkan oleh Allah sendiri.


2. Bekerja adalah bentuk kemuliaan bagi Allah

Kejadian 1:26 mencatat bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Artinya, dalam diri manusia terdapat sifat-sifat yang mencerminkan karakter Allah, salah satunya adalah kerajinan dan produktivitas. Allah adalah Allah yang bekerja — Ia menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan beristirahat pada hari ketujuh. Bahkan Yesus sendiri menegaskan dalam Yohanes 5:17:

“Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga.”

Ayat ini memperlihatkan bahwa Allah tidak pernah berhenti bekerja. Ia terus menopang ciptaan-Nya, memelihara kehidupan, dan menuntun sejarah dunia menuju rencana keselamatan. Karena itu, manusia sebagai gambar Allah pun dipanggil untuk terus berkarya dan bekerja dengan tekun.

Jika Allah masih bekerja sampai sekarang, maka orang percaya pun tidak boleh hidup dengan sikap malas atau pasif. Bekerja dengan sungguh-sungguh adalah bentuk ibadah kita kepada Allah. Kolose 3:23 menegaskan:

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Jadi, ketika kita bekerja dengan penuh tanggung jawab, disiplin, dan kejujuran, kita sebenarnya sedang memuliakan Allah. Sebaliknya, ketika kita malas atau tidak menggunakan kemampuan yang telah Allah karuniakan, kita sedang mengabaikan mandat ilahi yang diberikan kepada manusia sejak penciptaan.


3. Bekerja adalah sarana berkat dan kesaksian

Allah memberi manusia kemampuan untuk bekerja bukan hanya agar kebutuhan hidupnya terpenuhi, tetapi juga agar melalui pekerjaannya, manusia menjadi saluran berkat bagi sesama. Dalam Efesus 4:28, Rasul Paulus menulis:

“Orang yang mencuri janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan.”

Ayat ini mengajarkan bahwa pekerjaan memiliki dimensi sosial dan spiritual. Dengan bekerja, kita belajar memberi, melayani, dan berkontribusi dalam kehidupan bersama. Dunia dapat melihat kemuliaan Allah melalui cara kita bekerja — baik dalam tanggung jawab, ketekunan, maupun integritas kita.

Bekerja bukan sekadar mencari penghasilan, tetapi menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah dunia kerja. Setiap pekerjaan yang dilakukan dengan kasih, kejujuran, dan semangat melayani, menjadi kesaksian nyata bahwa Kristus hidup di dalam diri kita.


4. Refleksi pribadi: Bekerja sebagai bagian dari ibadah

Sebagai anak-anak Allah, kita tidak boleh memisahkan pekerjaan dari kehidupan rohani. Dalam diri setiap orang percaya, Allah telah menanamkan kemampuan bekerja, kekuatan, dan kreativitas. Maka, setiap kali kita menggunakan talenta dan kemampuan itu dengan sungguh-sungguh, kita sedang melaksanakan kehendak Allah.

Sama seperti Bapa, Anak, dan Roh Kudus yang terus bekerja hingga hari ini, demikian pula kita dipanggil untuk terus berkarya di mana pun Tuhan menempatkan kita — baik di ladang pekerjaan, pelayanan, pendidikan, maupun keluarga.

Karena itu, bekerja dengan rajin, jujur, dan penuh sukacita adalah bagian dari ibadah yang sejati. Kita bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tetapi untuk memuliakan Tuhan yang telah menciptakan kita


Penutup

Allah tidak pernah berhenti bekerja, dan Ia memanggil kita untuk ikut serta dalam karya-Nya. Sejak awal penciptaan, manusia diciptakan untuk bekerja, memelihara, dan mengelola ciptaan Allah dengan penuh tanggung jawab. Bekerja adalah anugerah, bukan beban.

Ketika kita bekerja dengan sikap yang benar — bukan untuk kemuliaan diri, melainkan untuk kemuliaan Allah — maka setiap usaha dan jerih lelah kita akan menjadi ibadah yang hidup di hadapan-Nya.

💬 “Mari bekerja, bukan karena terpaksa, melainkan karena kita meneladani Allah yang bekerja dengan kasih. Dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan, biarlah nama Tuhan dipermuliakan.”